Showing posts with label makalah kesehatan. Show all posts
Showing posts with label makalah kesehatan. Show all posts

Makalah Gawat Darurat Pada Sistem Pendengaran

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada kasus gawat darurat pada sistem pendengaran, pada saat melihat korban hendaknya memperhatikan : korban bernapas atau tidak, kesadaran dan perdarahan. Keadaan ini dapat terjadi pada kondisi apapun. Tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan rendah perhatian orang tua terhadap kondisi anak sehingga menyebabkan munculnya kegawat daruratan pada pendengaran seperti trauma tumpul yang menyebabkan kehilangan pendengaran bahkan keseimbangan.Salah satu contohnya yaitu otitis media yang merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukuso telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah melalui tuba eustachius. Sebagai mana halnya dengan infeksi saluran napas atas (ISPA), otitis media juga merupakan sebuah penyakit langganan anak-anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 75% anak mengalamisetidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hamper dari setengah mereka mengalami tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun.Biasanya telinga tidak memerlukan banyak perawatan. Kotoran telinga yang menumpuk pada telinga bagian luar mengandung zat yang dapat membunuh bakteria dan mencegah infeksi. Ingat, jangan memasukkan benda tajam ke dalam telinga karena dapat merusak gendang telinga dan menyebabkan ketulian. Untuk membersihkan kotoran telinga yang menumpuk, gunakan sediaan yang dapat dibeli di apotek. Jika telinga terasa tersumbat, periksakan ke dokter untuk mendapatkan perawatan yang cukup. Jika kita sedang bepergian dengan kapal terbang, telinga kadang-kadang merasa tidak enak. Hal ini disebabkan karena bagian dalam tidak sama dengan tekanan pada telinga bagian luar. Keadaan ini menyebabkan telinga terasa tidak enak dan sakit sampai telinga mengeluarkan bunyi “pop” dan tekanan menjadi seimbang.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa defenisi telinga ?
2. Apa etiologi daritelinga ?
3. Apa saja manifestasi klinik telinga ?
4. Bagaimana patofisiologi telinga ?
5. Bagaimana penatalaksanaan telinga ?
6. Apa saja bagian-bagian dari telinga ?
7. Apa saja kelainan yang terjadi pada telinga ?
8. Bagaiman pemeriksaan pada telinga ?
9. Bagaimana uji pendengaran pada telinga ?
10. Bagaimana konsep keperawatan pada system pendengaran (telinga) ?
11. Bagaimana penanganan gawat darurat pada system pendengaran (telinga)?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui defenisi telinga
2. Untuk mengetahui etiologi dari telinga
3. Untuk mengetahui  manifestasi telinga
4. Untuk mengetahui  patofisiologi telinga
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan telinga
6. Untuk mengetahui bagian-bagian dari telinga
7. Untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada telinga
8. Untuk mengetahui pemeriksaan pada telinga
9. Untuk mengetahui uji pendengaran pada telinga
10. Untuk mengetahui konsep keperawatan pada system pendengaran ( telinga )
11. Untuk mengetahui penanganan gawat darurat pada system pendengaran ( telinga )

BAB II
LANDASAN TEORI

A. DEFENISI

Telinga adalah organ penginderaaan berfungsi ganda dan kompleks pendengaran dan keseimbangan. 
Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktifitas kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Gawat darurat telinga  adalah suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya penurunan pendengaran bahkan kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh beberapa factor diantaranya trauma tumpul seperti kecelakaan lalu lintas,dll baik dalam waktu akut maupun kronis.

B. ETIOLOGI
  1. Telinga kemasukan benda asing  seperti air, biji – bijian, manic – manic, bulir padi, lintah,
  2. Trauma telinga penyebabnya menyelam,trauma tumpul seperti benda keras yang mengenai telinga dan trauma tajam seperti kecelakaan sehingga menyebabkan telinga menjadi putus.
  3. Barotrauma (Perbedaan Tekanan)
  4. Racun
  • Aminoglycoside antibiotics
  • Ethacrynic acid – oral
  • Aspirin
  • Chloroquine
  • Quinidine

C. MANIFESTASI KLINIK

a. Telinga kemasukan air

  • Memang benar kemasukan air
  • Telinga kurang dengar
  • Telinga kadang – kadang terasa sakit dibagian dalam
  • Telinga mendengar seperti suara berdengung

b. Telinga kemasukan benda asing

  • Adanya benda yang secara tidak sengaja masuk kedalam telinga
  • Setelah daun telinga ditarik keatas dan kebelakang akan terlihat benda asing
  • Rasa sakit di telinga
  • Kadang – kadang keluar darah dan bengkak
  • Trauma telinga
  • Rasa sakit didalam telinga
  • Rasa mendengung dalam telinga
  • Rasa tebal atau tuli dalam telinga
  • Keluar darah telinga

D. PATOFISIOLOGI


Gangguan pada telinga berawal ketika adanya invasi bakteri,kemudian bakteri tersebut menyebabakan infeksi pada telinga tengah karena adanya bakteri,maka terjadilah proses peradangan.peradangan inilah yang menyebabkan adanya rasa nyeri pada telinga tengah. Infeksi telinga tengah juga dapat meningkatkan produksi cairan serosa,karena adanya akumulasi cairan mucus dan serosa,hantaran suara udara yang diterima menurun sehingga terjadi gangguan persepsi sensori.

E. PENATALAKSANAAN


Berikan tampon yang mengandung antibiotic, pembersihan telinga secara menyeluruh ( aural Toilet ),tetes dekongestan hidung, pemberian analgesic dan miringiotomi bahkan pembedahan ( mastoidektomi ) dan meminimalkan terjadinya komplikasi.

G. BAGIAN – BAGIAN DARI TELINGA

Telinga terdiri dari tiga bagian diantaranya :

1. Telinga luar
Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar terdiri dari daun telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar. Telinga luar meliputi daun telinga atau pinna, Liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau membran timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga.
Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi kulit tipis.
Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin yang disebut serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang memproduksi sedikit serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang meneruskan suara ke telinga dalam

2. Telinga tengah
Telinga tengah meliputi gendang telinga, 3 tulang pendengaran (martil atau malleus, landasan atau incus, dan sanggurdi atau stapes). Saluran Eustachius juga berada di telinga tengah.
Getaran suara yang diterima oleh gendang telinga akan disampaikan ke tulang pendengaran. Masing-masing tulang pendengaran akan menyampaikan getaran ke tulang berikutnya. Tulang sanggurdi yang merupakan tulang terkecil di tubuh meneruskan getaran ke koklea atau rumah siput.
Pada manusia dan hewan darat lainnya, telinga tengah dan saluran pendengaran akan terisi udara dalam keadaan normal. Tidak seperti pada bagian luar, udara pada telinga tengah tidak berhubungan dengan udara di luar tubuh. Saluran Eustachius menghubungkan ruangan telinga tengah ke belakang faring.

3. Telinga dalam
Telinga bagian dalam terdiri dari tiga bagian utama yaitu ke arah belakang terdapat tiga saluran semi sirkular,di tengah – tengahnya ada bagian yang di sebut vestibula,dan ke arah depan ada koklea yang juga dikenal nama rumah siput telinga ( rumah siput ), Keseluruhan struktur ini berbentuk cekung dan mengandungcairan yang disebut perilimfe.
Menggantung di dalam perilimfe oleh benang-benang lembut adalah labiri yang berselaput.ini merupakan serangkaian kantong-kantong dan saluran nan rumit yang mengandung jenis cairan yang berbeda yang disebut endolimfa.

H. KELAINAN -  KELAINAN PADA TELINGA

1. Telinga bagian luar 

a. Benda asing dalam telinga

Ini terjadi kebanyakan pada anak-anak yang paling suka memasukkan benda-benda apa saja ke dalan hampir setiap liang tubunya.lubang telinga mempunyai penarikan khusus,seperti seperti halnya lubang hidung.
Berbagai benda kecil pernah dimasukkan ke dalam lubang-lubang itu,paling umum adalah pecahan batu,mainan plastic, biji buah-buahan, kacang, dan sebagainya.bahkan juga serangga kecil bias masuk ke lubang telinga atau hidung tanpa dikehendaki.
Untuk mengeluarkan benda asing tersebut seperti serangga agak sulit karena badan serangga tersebut sudah menjadi licin.tapi pada akhirnya serangga tersebut bias dikeluarkan tanpa akibat yang berbahaya.

Gejalanya :
Bisa timbul rasa tidak enak, atau berkurangnya pendengaran jika benda asing yang masuk berupa biji sayuran atau buah-buahan yang cenderung menyerap cairan sehingga membesar dan menutup seluruh saluran.Akibatnya bias terjadi infeksi.khususnya jika benda asing itu sudah berada di dalam telinga selama beberapa hari tanpa diperiksa.
Penyebab yang menganggu dan lazim di sini adalah menyelinapnya benda asing untuk sementara ke dalam saluran telinga.ada orang yang mempunyai kebiasaan mengusap lubang telinga dengan sesuatu benda untuk mendapatkan rasa geli yang menyenangkan.ini adalah salah satu cara terjadi infeksi,sehingga harus dihentikan sama sekali.

Perawatan :
Kecuali jika benda asing itu berada dekat d’mulut liang dan bias dikeluarkan dengan sesuatu alat sederhana tanpa menimbulkan rasa sakit, maka sebaiknya benda itu di biarkan tidak disentuh.
Dokter maupun perawat yang terlatih dapat dengan mudah memgeluarkannya dengan alat khusus.tapi untuk benda-benda yang terlalau masuk kedalam,apalagi disertai infeksi itu memerlukan anestesia.

2. Telinga bagian tengah dan dalam

a. Otitis media serosa
Otitis media serosa (efusi telinga tengah)mengeluarkan cairan,tanpa bukti adanya infeksi aktif dalam telinga tengah. Secara teori,cairan ini sebagai akibat tekanannegatif dalam telinga tengah yang disebabkan obstruksi tuba eustachii. Kondisi ini ditemikan terutama pada anak-anak,perlu dicatat bahwa bila terjadi pada orang dewasa penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi tuba eustahcii harus dicari. 
Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah menjalani radioterapi dan barotraumas (misalnya penyelam)dan pada pasien disfungsi tuba eustahcii akibat infeksi atau alergi saluran nafas atas yang terjadi. Barotraumas terjadi bila terjadi perubahan tekanan mendadak dalam telinga tengah akibat perubahan tekanan barometric seperti seperti pada penyelam atau saat pesawat udara turun,dan cairan tertangkap didalam telinga tengah.
Karsinoma yang menyumbat tuba eustachii harus disingkirkan pada orang dewasa yang menderita otitis media serosa unilateral menetap.

Gejalanya :
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran,rasa penuh dalam telinga atau perasaan bendungan dan bahkan suara letup atau berderik yang terjadi ketika tuba eustahcii berusaha membuka. Membrane timpani Nampak kusam pada otoskopi dan dapat terlihat gelembung udara dalam telinga tengah. Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran konduktif.

Perawatan :
Otitis media serosa tidak perlu ditangani secara medis kecuali terjadi infeksi (otitis media akut). Bila kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan efusi telinga tengah menimbulkan masalah bagi pasien,maka bias dilakukan miringotomi dan dipasang tabung untuk menjaga telinga tengah tetap terventilasi. Kortikosteroid,dosis rendah,kadang dapat mengurangi edema tuba eustahcii pada kasus barotrauma.

b. Peradangan / pendarahan pada telinga ( barotitis )
Barotitis adalah peradangan pada telinga yang disebabkan oleh perubahan tekanan atmosfer dan kondisi ini juga disebut aerotitis. Barotitis merupakan masalah peradangan atau pendarahan pada telinga tengah disebabkan oleh perbedaan antara tekanan udara di telinga tengah dan atmosfir seperti saat di ketinggian,menyelam,dan hampa udara.

Gejala :
Sakit di telinga dan sakit gigi merupakan cirri khas penyakit ini

Perawatan :
Seseorang dengan infeksi akut pernafasan atas atau reaksi alergi dianjurkan untuk tidak terbang atau menyelam,namun jika kegiatan tersebut terpaksa dilakukan perti phenyleprine 0,25 % dioleskan 30 menit sebelum melakukan aktifitas penerbangan atau penyelam dapat membantu mengatasi masalah ini.

I. PEMERIKSAAN PADA TELINGA

Telinga luar diperiksa dengan inspeksi dan palpasi langsung,sementara membrane timpani diinspeksi seperti telinga tengah dengan otoskop dan palpasi tak langsung dengan menggunakan otoskop pnemautik. Tak mungkin melakukan inspeksi telinga dalam,nmun ada berbagai medote pengkajian yang dapat memberikan pengkajian kasar terhadap fungsinya.pengkajian ketajaman auditorius harus dilakukan pada setiap pemeriksaan fisik.

a. Pengkajian fisik 
Inspeksi telinga luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering terlewat. Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya deformitas,lesi,dan cairan begitupula ukuran,simetri dan sudut penempelan ke kepala. Gerakan aurikulus normalnya tak menimbulkan nyeri. Bila maneuver ini terasa nyeri,harus dicurigai adanya otitis eksterna akut nyeri tekan pada saat palpasi di daerah mastoid dapat menunjukkan mastoiditis akut atau inflamasi nodus aurikula posterior.

b. Ketajaman auditorius
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau detakan jam tangan. Bisikan lembut oleh pemeriksa yang sebelumnya telah melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian.

J. UJI PENDENGARAN KLINIS 

Uji pendengaran klinis memerlukan garpu tala. Garputala tunggal yang terbaik adalah garpu tala riverbank 512 Hz. Garpu tala yang berfrekuensi lebih tinggi mungkin tak dapat mempertahankan terdengarnya nada cukup lama agar memadai untuk uji pendengaran, sedangkan garpu tala dengan frekuensi lebihrendah merangsang sensasi getar pada tulang yang adakalanya sulit dibedakan dengan pendengaran nada rendah.
Uji garpu tala dasar adalah uji rinne dimana uji ini digunakan untuk membandingkan lamanya hantaran tulang dengan hantaran udara pada telinga yang diuji.penala 512 Hz digetarkan dan tangkainya ditempelkan pada tulang mastoid. Pada telinga normal,penala terdengar hampir dua kali lebih lama pada hantaran udara dibandingkan hantaran tulang.Sedangkan uji weber dimana uji ini menentukan apakah kerusakan pendengaran monoaural bersifat hantaran atau saraf dengan membandingkan hantaran tulang pada kedua telinga. Penala 512 Hz dapat ditempelkan pada dahi merupakan respon normal sedangkan pada gigi penala terdengar di sebelah kanan,jika telinga kanan merupakan telinga yang sakit maka kehilangan pendengaran merupakan tuli hantaran. Apabila telinga kiri merupakan telinga yang sakit mak kehilangan pendengaran adalah tipe sensorineural (tuli saraf).  

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 
PADA SISTEM PENDENGARAN

A. Pengkajian

1. Riwayat kesehatan 
Riwayat kesehatan meliputi penggambaranlengkap masalah telinga,termasuk infeksi,otalgia,otorea,kehilangan pendengaran. Data dikumpulkan mengenai durasidan intensitas masalah,penyebab,dan penangan sebelumya.

2. Pengkajin fisik
Pengkajian fisik meliputi observasi adanya eritema,edema,otorea,lesi,dan bau cairan yang keluar.

B. Diagnosa 

  1. Ansietas yang berhubungan dengan prosedur pembedahan,potensial kehilangan pendengaran,potensial gangguan pengecap,dan potensialkehilangan gerakan fasial.
  2. Nyeri akut yang berhubungan dengan pembedahan mastoid
  3. Perubahan persepsi sensori auditorius yang berhubungan dengan kelainan telinga/pembedahan telinga/penyumpalan telinga
  4. Risiko terhadap trauma/cedera yang berhubungan dengan kesulitan keseimbangan atau vertigo selama periode pascaoperatif segera
C. Intervensi 
1. Ansietas yang berhubungan dengan prosedur pembedahan,potensial pendengaran,potensial gangguan pengecap,dan potensial kehilangan gerakan fasial
Tujuan : ansietas (kecemasan) hilang atau berkurang
Intervensi :

  • Kaji tingkat ansietas klien
  • Dorong untuk mendiskusikan setiap ansietas dan keprihatinan mengenai pembedahan
  • Berikan upaya kenyamanan dan hindari aktivitas yang menyebabkan stress
  • Ajarkan klien teknik penatalakksanaan stress
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan pembedahan mastoid
Tujuan : bebas dari rasa tak nyaman
Intervensi :

  • Kaji laporan nyeri dan catat lokasi
  • Beriakan pasien obat analgetik sesuai dengan kebutuhan
  • Ajarkan tentang cara penggunaan dan efek samping obat
  • Berikan tindakan kenyamanan
3. Perubahan persepsi sensori auditorius yang berhubungan dengan kelainan telinga/pembedahan telinga/penyumpalan telinga
Tujuan : memperbaiki komunikasi
Intervensi :

  • Memandang pasien ketika berbicara
  • Kurangi kegaduhan lingkungan
  • Berbicara tegas dan jelas tanpa berteriak
  • Menggunakan tanda non verbal
4. Risiko terhadap trauma/cedera yang berhubungan dengan kesulitan keseimbangan atau vertigo selama periode pascaoperatif segera
Tujuan :menghilangkan rasa trauma
Intervensi :

  • Berikan tindakan kenyamanan
  • Ajarkan pasien mengenai efek yang diharapkan dan potensial efek samping obat
  • Memantau pasien mengenai adanya efek obat 
BAB IV
PENANGANAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM PENDENGARAN

1. Miringkan kepala korban ke sisi yang di kenai. jangan berusaha mengeluarkan benda dengan beberapa peralatan
2. Jika serangga dalam telinga, baringkan korban miring dengan telinga yang terkena lebih tinggi. Tuangkan dalam air suam-suam,sehingga serangga tersebut akan terangkat keluar dengan sendirinya.
3. Jika tidak berhasil, lakukan rujukan pembedahan.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Telinga adalah organ penginderaaan berfungsi ganda dan kompleks pendengaran dan keseimbangan. 
Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktifitas kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Gawat darurat telinga  adalah suatu keadaan yang menyebabkan terjadinya penurunan pendengaran bahkan kkehilangan pendengaran yang disebabkan oleh beberapa factor diantaranya trauma tumpul seperti kecelakaan lalu lintas,dll baik dalam waktu akut maupun kronis.

B. SARAN
1. Sebagai calon perawat hendaknya kita mengerti dan memahami tentang system pendengaran ( telinga ).
2. Demi kepentingan bersama dan kesempurnaan makalah ini, kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dari teman – teman sangat kami butuhkan. Mohon di baca dengan teliti dan di mengerti.

MAKALAH GAWAT DARURAT PADA SISTEM PENDENGARAN

DAFTAR PUSTAKA

Pracy. R , siegler. J, stell.P.M. 1993. Pelajaran Ringkas Telinga,Hidung,danTenggorokan. Jakarta : PT Gramedia pustaka utama
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol.3 E/8. Jakarta : EGC
Skeet ,Muriel.1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Rizki Kurniadi. Available from :
http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/02/asuhan-keperawatan-gawat-darurat-pada_26.html (diabdet tanggal 26 februari 2012)

Webmaster. Available from :
http://setengahbaya.info/arsip/penyakit-pendarahan-telinga.html (diabdet tahun 2010)


Makalah Scleroderma

Makalah Scleroderma


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG


Berdasarkan informasi dari Scleroderma Foundation.Skleroderma adalah sekelompok penyakit yang menyebabkan kulit dan organ kadang-kadang internal untuk menjadi keras dan ketat. Sebenarnya, kata skleroderma sebenarnya berarti "kulit keras”. Skleroderma terjadi ketika tubuh terlalu banyak membuat kolagen, protein yang membentuk jaringan ikat atau Skleroderma dapat dikatakan sebagai  penyakit autoimun kronis yang ditandai oleh fibrosis (atau pengerasan), perubahan pembuluh darah dan autoantibodi.  Ini mempengaruhi pembuluh darah kecil yang dikenal sebagai arteriol dalam semua organ. Penyakit ini ditemukan di antara semua ras di seluruh dunia, tetapi perempuan empat kali lebih mungkin mengembangkan skleroderma daripada pria. Di Amerika Serikat, sekitar satu orang di 1.000 terpengaruh. Anak-anak jarang menderita jenis sistemik, tetapi skleroderma lokal adalah umum. Penyakit ini memiliki tingkat tinggi di antara suku Choctaw asli Amerika dan wanita Afrika-Amerika

Mengutip dari Info Sehat tabloid Nyata edisi April 2005, beberapa ahli menduga penyakit ini disebabkan oleh faktor pencetus berupa hormon terutama hormon estrogen, zat kimia seperti vinyl chloride atau trichloroehylene dan infeksi virus seperti Human Cytomegalovirus dan Human Herpes Virus. Penyakit ini diduga tidak menular dan tidak bersifat turunan. Faktor resiko terjadinya skleroderma adalah pemaparan debu silika dan polivinil klorida. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sekitar 250 dari 1 juta orang mengalami beberapa bentuk Skleroderma. Skleroderma dapat terjadi dalam keluarga yang memiliki kecenderungan atau riwayat penyakit ini, tetapi dalam banyak kasus juga terjadi di keluarga yang dikenal tidak memiliki kecenderungan untuk penyakit ini. Sekedar pengetahuan, Skleroderma tidak dianggap menular, tetapi bisa sangat mempengaruhi aktifitas penderita. Pada dasarnya Skleroderma merupakan hasil dari overproduksi dan akumulasi kolagen dalam jaringan tubuh. Kolagen adalah sejenis protein berserat yang membentuk tubuh  jaringan penghubung, termasuk kulit.

Walaupun dokter tidak yakin apa yang mendorong produksi kolagen yang tidak normal ini, sistem kekebalan tubuh tampaknya memainkan peran. Untuk alasan yang tidak diketahui, sistem kekebalan tubuh berbalik melawan tubuh, menghasilkan peradangan dan kolagen yang berlebih.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa defenisi skleroderma?

2. Apa etiologi dari skleroderma?
3. Bagaimana patofisiologi skleroderma?
4. Apa saja manifestasi klinik skleroderma?
5. Apa saja komplikasi pada skleroderma?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik untuk skleroderma?
7. Bagaimana penatalaksanaan untuk skleroderma?
8. Bagaimana konsep keperawatan skleroderma?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui defenisi skleroderma
2. Untuk mengetahui etiologi dari skleroderma
3. Untuk mengetahui  patofisiologi skleroderma
4. Untuk mengetahui  manifestasi klinik skleroderma
5. Untuk mengetahui  komplikasi skleroderma
6. Untuk mengetahui  pemeriksaan diagnostik untuk skleroderma
7. Untuk mengetahui  penatalaksanaan untuk skleroderma
8. Untuk mengetahui  konsep keperawatan skleroderma

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Skleroderma berasal dari bahasa Yunani, scleros (keras) dan derma (kulit). Skleroderma, biasa juga disebut sistemik sklerosis, adalah suatu penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi sejumlah sistem tubuh. Pada pasien dengan skleroderma, sel-sel tertentu dalam tubuh menghasilkan kolagen secara berlebihan. Kolagen merupakan suatu protein yang ditemukan dalam jaringan ikat. Kelebihan kolagen akan disimpan di seluruh tubuh, menyebabkan pengerasan pada kulit dan jaringan (fibrosis), merusak pembuluh darah, dan mempengaruhi organ-organ dalam.

Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka yang merupakan hasil dari respon sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem kompleks dari organ, sel, dan protein yang melindungi tubuh dari penyakit. Sistem kekebalan tubuh akan menyerang organisme asing dalam tubuh, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel yang abnormal, serta membawa sel-sel yang rusak dan mati keluar dari tubuh. Pada penyakit autoimun seperti skleroderma, sistem kekebalan tubuh akan menyerang sel-sel normal pada tubuh, menyebabkan kerusakan dan peradangan.Kelebihan produksi kolagen, kerusakan pada pembuluh darah, dan terbentuknya antibodi yang abnormal (autoantibodi), semuanya memainkan peranan yang penting dalam pengembangan skleroderma. 

B. ETIOLOGI

Penyebab dari skleroderma tidak diketahui hingga saat ini.  Dengan alasan yang masih belum jelas, terjadi proses autoimun dimana sistem imun tubuh berbalik menyerang tubuh, menyebabkan peradangan dan menyebabkan produksi kolagen yang berlebihan.
Faktor – faktor genetik dan lingkungan mungkin berperan dalam pengembangan penyakit ini. Suatu antigen yang diwariskan, human leukocyte antigen (HLA) dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya skleroderma. Faktor risiko lain mencakup usia (biasanya 30-50 tahun), dan gender (lebih sering pada wanita). 

C. PATOFISIOLOGI

Seperti halnya dengan penyakit jaringan ikat difus lainnya, skleroderma memiliki perjalanan penyakit yang beragam dengan remisi dan eksaserbasi, kendati demikian, prognosisnya tidaklah seoptimis prognosis lupus. Penyakit ini umumnya di mulai dengan gangguan pada kulit. Sel – sel mononuklear akan berkumpul pada kulit dan menstimulasi limfokin untuk merangsang pembentukan prokolagen. Kolagen yang insoluble akan terbentuk dan tertimbun secara berlebihan dalam jaringan. Pada mulanya respon inflamasi menyebabkan pembentukan edema dengan menimbulkan gambaran kulit yang tampak kencang, licin dan mengkilap. Kemudian kulit tersebut mengalami perubahan fibrotik yang menyebabkan hilangnya elastisitas kulit dan gangguan gerak. Akhirnya jaringan itu mengalami degenerasi dan gangguan fungsional. Rangkaian peristiwa ini yang dimulai dari inflamasi hingga degenerasi juga terjadi dalam pembuluh darah, organ – organ utama dan berbagai sistem tubuh yang berpotensi untuk menimbulkan kematian.

D. MANIFESTASI KLINIK

Skleroderma dimulai secara perlahan – lahan dan tidak jelas dengan fenomena Raynaud serta pembengkakan pada tangan. Kulit dan jaringan subkutan menjadi semakin keras serta kaku dan tidak dapat di cubit dari struktur di bawahnya. Kerutan dan garis – garis kulit menghilang. Kulit menjadi kering karena sekresi keringan di bagian yang sakit tersupresi. Eksteremitas menjadi kaku dan kehilangan mobilitasnya. Keadaan tersebut akan menyebar secara perlahan – lahan. Selama bertahun – tahun, semua perubahan ini dapat tetap terlokalisasi pada kedua belah tangan dan kaki (skleroderma). Wajah menjadi mirip topeng, immobile serta tanpa ekspresi, dan mulut menjadi kaku.

Perubahan di dalam tubuh, sekalipun tidak tampak secara langsung, jauh lebih penting daripada perubahan yang nyata. Ventrikel kiri jantung akan terkena sehingga terjadi gagal jantung kongesti, esofagus mengeras yang akan mengganggu gerakan menelan, paru – paru terus membentuk jaringan parut sehingga menghambat respirasi, gangguan cerna terjadi karena pengerasan (sklerosing) mukosa intestinal dan kegagalan renal progresif dapat terjadi.Pasien dapat memperlihatkan manifestasi dalam bentuk sejumlah gejala yang di sebut sebagai sindrom CREST. Huruf CREST berarti calcinosis (karsinosis/ pengendapan kalsium dalam jaringan), Raynaud’s phenomena (fenomena Raynaud), esophageal hardening and dysfunctioning (pengerasan dan gangguan fungsi esophagus), sclerodactyly (sklerodaktili/ skleroderma pada jari – jari) dan telangiectasis (telangiektasis/ dilatasi kapiler yang membentuk lesi vaskuler).

E. KOMPLIKASI

Kemungkinan komplikasi skleroderma meliputi : kerusakan otot halus di saluran pencernaan, yang menyebabkan kekurangan gizi, jaringan parut pada otot jantung, dapat menyebabkan kerusakan permanen, kerusakan ginjal dan kegagalan, dan kurang percaya diri.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Untuk diagnosis skleroderma tidak ada satu pun pemeriksaan yang dapat menyimpulkan diagnosis tersebut. Anamnesis riwayat sakit dan pemeriksaan fisik yang lengkap di lakukan untuk mencatat setiap perubahan fibrotik pada kulit, paru – paru, jantung atau esophagus. Biopsi kulit dikerjakan untuk mengidentifikasi perubahan seluler spesifik untuk skleroderma. Pemeriksaan pulmoner akan memperlihatkan abnormalitas perfusi ventilasi. EKG menunjukkan efusi perikardium (yang sering ditemukan bersama gangguan jantung). Pemeriksaan esophagus memperlihatkan penurunan mortalitas pada 75% penderita skleroderma. Tes darah dapat mendeteksi antibodi antinukleus (ANA) yang menunjukkan kelainan jaringan ikat dan kemungkinan membedakan subkelompok scleroderma. Hasil tes ANA yang positif lazim dijumpai pada skleroderma. Gambaran ANA yang memperlihatkan pola antisentromer berkaitan dengan sindrom CREST.

G. PENATALAKSANAAN

Terapi skleroderma bergantung pada manifestasi klinisnya. Semua pasien memerlukan konseling pribadi dan dalam konseling tersebut, tujuan individual yang realistis dapat ditentukan. Sampai saat ini belum ada program obat yang terbukti efektif untuk mengendalikan skleroderma namun demikian, berbagai obat dapat digunakan untuk mengobati gejalanya. Penisilamin pernah menjadi obat yang paling menjanjikan dalam mengurangi penebalan kulit, menurunkan kecepatan terjadinya kelainan organ visera yang baru, dan memperpanjang usia penderita. Kaptopril dan preparat antihipertensi yang paten lainnya cukup efektif untuk mengendalikan krisis hipertensi. Obat – obat anti–inflamasi dapat di gunakan untuk mengontrol atralgia, kekakuan dan gangguan rasa nyaman muskuloskeletal yang umum. Preparat vasodilator tidak terbukti efektif untuk berbagai abnormalitas vaskuler. Tindakan suportif mencakup upaya untuk mengurangi rasa nyeri dan membatasi disabilitas. Program latihan yang moderat perlu di dorong untuk mencegah kontraktur sendi. Kepada pasien disarankan agar menghindari suhu yang ekstrem dan menggunakan losion untuk mengurangi kekeringan kulit.

Pertimbangan Keperawatan. Penilaian keperawatan dapat difokuskan pada perubahan sklerotik kulit, kontraktur jari – jari tangan dan perubahan warna atau lesi pada ujung – ujung jari tangan. Pengkajian gangguan sitemik memerlukan peninjauan terhadap berbagai sistem dengan memberikan perhatian khusus kepada gejala – gejala gastrointestinal, pulmoner, renal dan jantung. Keterbatasan pada mobilitas dan aktivitas perawatan mandiri harus dikaji bersama dampak yang telah atau yang akan ditimbulkan oleh penyakit pada citra tubuh.Asuhan keperawatan bagi penderita skleroderma kulit harus dilaksanakan berdasarkan rencana asuhan dasar.Masalah yang paling sering ditemukan pada penderita skleroderma kulit mencakup gangguan integritas kulit, kurang kemampuan dalam melaksanakan perawatan mandiri, perubahan nutrisi yang membuat asupan nutrisi lebih kecil dari kebutuhan tubuh dan gangguan citra tubuh. Pasien yang penyakitnya sudah lanjut dapat pula menghadapi masalah dengan terganggunya pertukaran gas, berkurangnya curah jantung, gangguan menelan dan konstipasi.    

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengkajian dapat dilakukan dengan anamnesa, pengkajian riwayat, dan pemeriksaan fisik.
b. Catat derajat scleroderma.
c. Catat adanya lesi inflamasi
d. Inspeksi kulit dengan meregangkan kulit secara perlahan, lihat adanya papul dan kista.
e. Menilai persepsi klien yang memicu peningkatan intensitas.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidaknyamanan nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
b. Gangguan citra diri berhubungan dengan rasa malu dan frustasi terhadap penampilan diri.
c. Integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit.
d. Program terapi tidak efektif berhubungan dengan pengetahuan yang tidak memadai mengenai penyebab, jalannya penyakit, pencegahan, dan perawatan kulit.

3. Intervensi Keperawatan
Dx I : Ketidaknyamanan nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : Nyeri klien hilang atau dapat terkontrol

Intervensi :
a).   Kaji adanya nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui nyeri yang dirasakan.
b).   Hindari bahan-bahan atau benda-benda yang menyebabkan nyeri.
Rasional :  Mencegah timbulnya nyeri.
c).   Kolaborasi medis pemberian analgetik sesuai indikasi.

Rasional :  Mengurangi nyeri.
Dx II : Gangguan citra diri berhubungan dengan rasa malu dan frustasi terhadap penampilan diri.
Tujuan : klien mampu menerima situasi secara realitas

Intervensi :
a).    Berikan motivasi dan harapan kepada klien bahwa penyakit scleroderma dapat diobati.
Rasional : Mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa percaya diri.
b).    Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional :  Mengurangi kecemasan.
c).    Anjurkan klien untuk melakukan pengobatan secara konsisten.
Rasional :  Mempercepat proses penyembuhan.

Dx III : Integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit.
Tujuan : komplikasi dicegah/minimalkan

Intervensi :
a).    Kaji derajat lesi untuk mengetahui seberapa parah lesi pada kulit.
Rasional : Mengetahui tingkat keparahan guna memberikan terapi yang tepat.
b).    Anjurkan klien untuk menghindari garukan pada daerah yang mengeras.
Rasional : Mencegah lesi dan kerusakan integritas kulit.
c).    Anjurkan klien untuk menghindari pemakaian kosmetik yang mengandung bahan kimia.
Rasional : Mencegah kerusakan permukaan kulit.
d).    Kolaborasi : pemberian terapi topikal dan sistemik.
Rasional :  Mempercepat proses penyembuhan.

Dx IV : Program terapi tidak efektif berhubungan dengan pengetahuan yang tidak memadai mengenai penyebab, jalannya penyakit, pencegahan, dan perawatan kulit.
Tujuan : Kondisi/prognosis dan program terapi dipahami

Intervensi :
a).    Beri pendidikan kesehatan tentang scleroderma secara umum.
Rasional : Menambah pengetahuan klien.
b).    Motivasi pasien untuk meningkatkan kepatuhan dan pemahaman terhadap terapi.
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan.
c).    Evaluasi tingkat pemahaman klien tentang scleroderma.
Rasional :  Mengetahui tingkat pemahaman klien tentang scleroderma.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang ada.

5. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
a.      Nyeri hilang atau berkurang.
b.     Pasien tidak merasa malu lagi.
c.      Kerusakan integritas kulit teratasi.
d.     Pasien mencapai pengetahuan terhadap program terapi.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Scleroderma adalah penyakit langka kronis yang menyerang pertahanan tubuh. Saat ini diperkirakan sekitar 150,000 sampai 500,000 orang Amerika telah terjangkit penyakit ini. Terutama wanita berumur antara 30 sampai 50 tahun. Penyakit ini menjangkit 30 orang per 100.000 dan perbandingan antara wanita dan pria berkisar empat banding satu.

B. KRITIK DAN SARAN
Makalah kami masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan kami. Besar harapan kami kepada para pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

Makalah Scleroderma


DAFTAR PUSTAKA
http://www.perkuliahan.com/makalah-kesehatan-keperawatan-tentang-penyakit-scleroderma/#ixzz1sHvRomcZ
Doenges, Marilynn E. 2002.Rencana Asuhan Keperawatan,Edisi ke 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Djuanda, Prof. Dr. Adhi. 2002.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi ke 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit, Ed4. Jakarta.

Makalah Tetanus

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia . Namun, banyak masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan penyesuaian biokimia.


Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir.

Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Salah satu kasus yang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah adalah kasus tetanus. Data organisasi kesehatan dunia WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat. Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.

Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan (neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.
Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi seorang tenaga medis, dapat memberikan pertolongan/tindakan pertama atau pelayanan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kewenangan dalam menghadapi kasus tetanus neonatorum.

B. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian dari tetanus neonatorium?

2. Apa yang menjadi etiologi dari tetanus neonatorium?
3. Apa patofisiologi dari tetanus neonatorium?
4. Bagaimana tanda dan gejala tetanus neonatorium?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada tetanus neonatorium?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan perawatan pada tetanus neonatorium?
7. Bagaimana melakukan pencegahan pada tetanus neonatorium?
8. Apa komplikasi dari tetanus neonatorium?

C. TUJUAN


1. Untuk mengetahui pengertian tetanus neonatorium

2. Untuk mengetahui etiologi tetanus neonatorium
3. Untuk mengetahui patofisiologi tetanus neonatorium
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala tetanus neonatorium
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada tetanus neonatorium
6. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan medis dan perawatan pada tetanus neonatorium
7. Untuk mengetahui pencegahan pada tetanus neonatorium
8. Untuk mengetahui komplikasi dari tetanus neonatorium

BAB II
KONSEP MEDIS

A. PENGERTIAN

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).

B. ETIOLOGI


1. Kuman Clostridium Tetani

2. Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.
3. Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.
4. Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT(Tetanus Toksoid) lengkap.

C. PATOFISIOLOGI

Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit beruba menjadi bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.

D. TANDA DAN GEJALA

Masa inkubasi penyakit adalah 5-14 hari sehingga .Gejala dan tanda tersebut biasanya muncul dalam waktu 5-10 hari setelah terinfeksi, tetapi bisa juga timbul dalam waktu 2 hari atau 50 hari setelah terinfeksi. Gejala yang paling umum terjadi adalah kekakuan pada rahang sehingga penderita tidak dapat membuka mulut, dan menelan  serta bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, dan bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.
Bisa juga dengan melihat gejala klinis atau yang lebih jelas lagi, seperti:

  1. Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpemound)
  2. Bayi tiba-tiba panas.
  3. Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang pada otot faring (tenggorok dan rahang).
  4. Mudah sekali kejang disertai sianosis (biru), kejang terutama apabila terkena cahaya, suara dan sentuhan.
  5. Kejang, otot kaku/spasm dengan kesadaran tak terganggu. Kejang pada otot-otot wajah menyebabkan ekspresi penderita seperti menyeringai dengan kedua alis yang terangkat. Kekakuan atau kejang pada otot-otot perut, leher, dan punggung dapat menyebabkan kepala dan tumit penderita tertarik ke belakang, sedangkan badannya melengkung ke depan(kaku duduk sampai opisthotonus) . Kejang pada otot sfingter perut bagian bawah akan menyebabkan sembelit dan tertahannya air kemih.
  6. Dinding perut tegang (perut papan)
  7. Trismus (kesukaran membuka mulut/mulut tertutup).
  8. Kesukaran menelan

E. PENATALAKSANAAN

  1. Pemberian saluran nafas agar tidak tersumbat dan harus dalam keadaan bersih.
  2. Pakaian bayi dikendurkan/dibuka
  3. Mengatasi kejang dengan cara memasukkan tongspatel atau sendok yang sudah dibungkus kedalam mulut bayi agar tidak tergigit giginya dan untuk mencegah agar lidah tidak jatuh kebelakang menutupi saluran pernafasan.
  4. Ruangan dan lingkungan harus tenang
  5. Bila tidak dalam keadaan kejang berikan ASI sedikit demi sedikit, ASI dengan menggunakan pipet/diberikan personde (kalau bayi tidak mau menyusui).
  6. Perawatan tali pusat dengan teknik aseptic dan antiseptic.
  7. Selanjutnya rujuk kerumah sakit, beri pengertian pada keluarga bahwa anaknya harus dirujuk ke RS

F. MEDIK DAN PERAWATAN

  1. Di berikan cairan melalui intravena
  2. Obat ATS 10.000 untuk perhari di berkan selama 2hari berturut-turut dengan IM untuk neonatus bisa di berikan IV apa bila tersedia dapat di berikan human tetanus immununoglobulin(HTIG) 3000-6000IU.im.
  3. Ampisilin 100mg/kg/BB hari di bagi 4dosis
  4. Tali pusat dibersihkan atau dikompres dengan alkohol betadine 10%
  5. Memberikan suntikan anti kejang, obat yang dipakai ialah kombinasi fenobarbital dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikan mula-mula 30-60 mg parenteral, kemudian dilanjutkan dengan dosis maksimum 10 mg per hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari. Kombinasi yang lain ialah Kloralhidrat yang diberikan lewat anus.

G. PENCEGAHAN

  1. Imunisasi aktif
  2. Perawatan tali pusat yang baik
  3. Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke 3
  4. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

H. KOMPLIKASI
  1. Bronkhopneumonia : infeksi yang terjadi pada bronkus dan jaringan paru
  2. Asfiksia :  keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur
  3. Sepsis Neonatorum : infeksi bakteri berat yang menyebar keseluruh tubuh bayi baru lahir

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN


1. Identitas

2. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
3. Pemeriksaan Fisik :

  • Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
  • Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
  • Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
  • Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
  • Abdomen : Dinding perut seperti papan.
  • Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
  • Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.

4. Pemeriksaan Persistem :

  • Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
  • Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
  • Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
  • Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
  • Perkemihan : Produksi urine
  • Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat.
  2. Ketidak efektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring).
  3. Koping keluarga tidak efektif b.d. kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak

C. INTERVENSI


1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. Peningkatan kebutuhan kalori yang tinggi, makan tidak adekuat.

- Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan dan pertumbuhan normal.
- Kriteria hasil :

  •  Tidak terjadi dehidrasi
  •  Tidak terjadi penurunan BB
  •  Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb
  •  Tidak menunjukkan tanda-tanda malnutrisi

- Intervensi :

  • Catat intake dan output secara akurat.
  • Berikan makan minum personde tepat waktu.
  • Berikan perawatan kebersihan mulut.
  • Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.
  • Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi dan
  • sesuaikan dengan kebutuhan.
  • Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari.
  • Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan ahli gizi.

2. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
- Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara maksimal.
- Kriteria hasil :

  •  Tidak terjadi aspirasi
  •  Bunyi napas terdengar bersih
  •  Rongga mulut bebas dari sumbatan

- Intervensi :

  • Berikan O2 nebulizer
  • Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar.
  • Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi batuk.
  • Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut.
  • Berikan perawatan kebersihan mulut.
  • Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara efektif dengan melihat waktu.

3. Koping keluarga tidak efektif b.d. kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak
- Tujuan : Keluarga dapat menahami tentang penyakit anak
- kriteria hasil :
- intervensi :

  • Kaji pengetahuan tentang proses tindakan terhadap penyakit
  • Berikan penjelasan kepada orang tua bahwa bayinya menderita sakit berat atau bahaya maka memerlukan tindakan dan pengobatan khusus.
  • Berikan penjelasan kepada orang tua, bila ibunya hamil lagi agar minta suntikan pencegahan tetanus.


BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tetanus neonatorum adalah:merupakan penyakit pada bayi baru lahir yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tatapi disebabkan oleh infeksi masuknya kuman tetanus melalui luka tali pusat
Penyebab penyakit tetanus neonarorium yaitu :
1. Kuman Clostridium Tetani
2. Pemotongan tali pusat bayi menggunakan alat yang tidak bersih atau steril.
3. Luka tali pusat kotor atau tdak bersih.
4. Ibu hamil tidak mendapat imunisasi TT(Tetanus Toksoid) lengkap.
Adapun gejala yang timbul pada penyakit tetanus neonatorium yakni:
1. Mulut mencucu seperti mulut ikan
2. Bayi tiba-tiba panas.
3. Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang pada otot faring
4. Mudah sekali kejang disertai sianosis (biru),
5. Kejang, otot kaku/spasm dengan kesadaran tak terganggu.
6. Dinding perut tegang (perut papan)
7. Trismus (kesukaran membuka mulut/mulut tertutup).
8. Kesukaran menelan
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Imunisasi aktif
2. Perawatan tali pusat yang baik
3. Pemberian toksoid tetanus pada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ke 3
4. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril

B. SARAN

Demi kepentingan bersama dan kesempurnaan makalah ini, kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dari teman – teman sangat kami butuhkan. Mohon di baca dengan teliti dan di mengerti.



DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Azis Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Salemba Medika : Jakarta.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Wiknyosastro, Gulardi Hanifa. 2002. Pelayanan Kesehatan Material Dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.