Showing posts with label Askeb I (Kehamilan). Show all posts
Showing posts with label Askeb I (Kehamilan). Show all posts

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri


Pemeriksaan Obstetri Pada Ibu Hamil


  1. Makalah Pemeriksaan Obstetri
Keluhan utama yang pada umumnya menyebabkan ibu hamil mengunjungi sarana pelayanan kesehatan IBU dan ANAK adalah:
  • Berhubungan dengan masalah kehamilan 
  • Memastikan adanya dugaan kehamilan. 
  • Ingin mengetahui usia kehamilan. 
  • Mual, muntah dan atau nyeri kepala. 
  • Perdarahan pervaginam. 
  • Keluar cairan pervaginam (air ketuban, leukorea?) 
  • Merasakan gerakan anak yang kurang atau bahkan tidak bergerak. 
  • Merasa akan melahirkan (inpartu). 
  • Berhubungan dengan penyakit yang menyertai kehamilan 
  • Penyakit infeksi. 
  • Penyakit sistemik atau penyakit kronis yang sudah dirasakan sebelum kehamilan ini.

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri


Berdasarkan atas keluhan utama diatas, dokter harus dapat mengembangkan anamnesa dan pemeriksaan fisik lanjutan untuk menentukan status kesehatan penderita dalam rangka perencanaan pengelolaan kasus lebih lanjut.


Sebelum memberikan pelayanan, klien harus dimintai persetujuannya( “informed consent”) untuk mencegah terjadinya konflik masalah etik pada kemudian hari.

Pelayanan antenatal bertujuan untuk mengetahui status kesehatan ibu hamil, konseling persiapan persalinan, penyuluhan kesehatan, pengambilan keputusan dalam rujukan dan membimbing usaha untuk membangun keluarga sejahtera.

Kunjungan pertama merupakan kesempatan untuk menumbuhkan rasa percaya ibu sehingga dia merasa nyaman untuk membicarakan masalah dirinya kepada dokter.

Rasa nyaman dapat ditumbuhkan pada diri pasien bila :
Pemeriksaan dilakukan ditempat yang tertutup, bersifat pribadi dengan kerahasiaan yang terjaga dengan baik. Apa yang dikatakan oleh ibu didengar dan diperhatikan secara baik. Pasien diperlakukan dengan penuh rasa hormat. 

  • ANAMNESA
Identitas pasien
Nama , alamat dan usia pasien dan suami pasien.
Pendidikan dan pekerjaan pasien dan suami pasien.
Agama, suku bangsa pasien dan suami pasien.
Anamnesa obstetri
Kehamilan yang ke …..
Hari pertama haid terakhir-HPHT ( “last menstrual periode”-LMP )
Riwayat obstetri:
Usia kehamilan : ( abortus, preterm, aterm, postterm ).
Proses persalinan ( spontan, tindakan, penolong persalinan ).
Keadaan pasca persalinan, masa nifas dan laktasi.
Keadaan bayi ( jenis kelamin, berat badan lahir, usia anak saat ini ).
Pada primigravida :
Lama kawin, pernikahan yang ke ….
Perkawinan terakhir ini sudah berlangsung …. Tahun.
Anamnesa tambahan:
Anamnesa mengenai keluhan utama yang dikembangkan sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan (kebiasaan buang air kecil / buang air besar, kebiasaan merokok, hewan piaraan, konsumsi obat-obat tertentu sebelum dan selama kehamilan).

  • PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik umum
Kesan umum (nampak sakit berat, sedang), anemia konjungtiva, ikterus, kesadaran, komunikasi personal.
Tinggi dan berat badan.
Tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, suhu tubuh.
Pemeriksaan fisik lain yang dipandang perlu.
Pemeriksaan khusus obstetri
Inspeksi :
Chloasma gravidarum.
Keadaan kelenjar thyroid.
Dinding abdomen ( varises, jaringan parut, gerakan janin).
Keadaan vulva dan perineum.
Palpasi
Maksud untuk melakukan palpasi adalah untuk :
Memperkirakan adanya kehamilan.
Memperkirakan usia kehamilan.
Presentasi - posisi dan taksiran berat badan janin.
Mengikuti proses penurunan kepala pada persalinan.
Mencari penyulit kehamilan atau persalinan.


PALPASI ABDOMEN PADA KEHAMILAN

Tehnik :
  • Jelaskan maksud dan tujuan serta cara pemeriksaan palpasi yang akan saudara lakukan pada ibu. 
  • Ibu dipersilahkan berbaring telentang dengan sendi lutut semi fleksi untuk mengurangi kontraksi otot dinding abdomen. 
  • Leopold I s/d III, pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan berdiri disamping kanan ibu dengan menghadap kearah muka ibu ; pada pemeriksaan Leopold IV, pemeriksa berbalik arah sehingga menghadap kearah kaki ibu. 
Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Leopold I :

  • Kedua telapak tangan pemeriksa diletakkan pada puncak fundus uteri. 
  • Tentukan tinggi fundus uteri untuk menentukan usia kehamilan. 
  • Rasakan bagian janin yang berada pada bagian fundus ( bokong atau kepala atau kosong ). 

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Leopold II :
  • Kedua telapak tangan pemeriksa bergeser turun kebawah sampai disamping kiri dan kanan umbilikus. 
  • Tentukan bagian punggung janin untuk menentukan lokasi auskultasi denyut jantung janin nantinya. 
  • Tentukan bagian-bagian kecil janin. 
Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Leopold III :

  • Pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati oleh karena dapat menyebabkan perasaan tak nyaman bagi pasien. 
  • Bagian terendah janin dicekap diantara ibu jari dan telunjuk tangan kanan. 
  • Ditentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan ditentukan apakah sudah mengalami engagemen atau belum. 
Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Leopold IV :

  • Pemeriksa merubah posisinya sehingga menghadap ke arah kaki pasien. 
  • Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin. 
  • Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin. 
Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Menentukan tinggi fundus uteri untuk memperkirakan usia kehamilan berdasarkan parameter tertentu ( umbilikus, prosesus xyphoideus dan tepi atas simfisis pubis).

VAGINAL TOUCHER PADA KASUS OBSTETRI


Indikasi vaginal toucher pada kasus kehamilan atau persalinan: Sebagai bagian dalam menegakkan diagnosa kehamilan muda. Pada primigravida dengan usia kehamilan lebih dari 37 minggu digunakan untuk melakukan evaluasi kapasitas panggul (pelvimetri klinik) dan menentukan apakah ada kelainan pada jalan lahir yang diperkirakan akan dapat mengganggu jalannya proses persalinan pervaginam. Pada saat masuk kamar bersalin dilakukan untuk menentukan fase persalinan dan diagnosa letak janin. Pada saat inpartu digunakan untuk menilai apakah kemajuan proses persalinan sesuai dengan yang diharapkan. Pada saat ketuban pecah digunakan untuk menentukan ada tidaknya prolapsus bagian kecil janin atau talipusat. Pada saat inpartu, ibu nampak ingin meneran dan digunakan untuk memastikan apakah fase persalinan sudah masuk pada persalinan kala II. 


Tehnik
  • Vaginal toucher pada pemeriksaan kehamilan dan persalinan: 
  • Didahului dengan melakukan inspeksi pada organ genitalia eksterna. 
  • Tahap berikutnya, pemeriksaan inspekulo untuk melihat keadaan jalan lahir. 
  • Labia minora disisihkan kekiri dan kanan dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri dari sisi kranial untuk memaparkan vestibulum.)

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan dalam posisi lurus dan rapat dimasukkan kearah belakang - atas vagina dan melakukan palpasi pada servik.

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri

Menentukan dilatasi (cm) dan pendataran servik (prosentase).
Menentukan keadaan selaput ketuban masih utuh atau sudah pecah, bila sudah pecah tentukan :

  • Warna 
  • Bau 
  • Jumlah air ketuban yang mengalir keluar 
Menentukan presentasi (bagian terendah) dan posisi (berdasarkan denominator) serta derajat penurunan janin berdasarkan stasion. 

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri


Menentukan apakah terdapat bagian-bagian kecil janin lain atau talipusat yang berada disamping bagian terendah janin (presentasi rangkap – compound presentation).Pada primigravida digunakan lebih lanjut untuk melakukan pelvimetri klinik : 

  • Pemeriksaan bentuk sacrum 
  • Menentukan apakah coccygeus menonjol atau tidak. 
  • Menentukan apakah spina ischiadica menonjol atau tidak. 
  • Mengukur distansia interspinarum. 
  • Memeriksa lengkungan dinding lateral panggul. 
  • Meraba promontorium, bila teraba maka dapat diduga adanya kesempitan panggul (mengukur conjugata diagonalis). 
  • Menentukan jarak antara kedua tuber ischiadica. 
Auskultasi
  • Auskultasi detik jantung janin dengan menggunakan fetoskop de Lee. 
  • Detik jantung janin terdengar paling keras didaerah punggung janin. 
  • Detik jantung janin dihitung selama 5 detik dilakukan 3 kali berurutan selang 5 detik sebanyak 3 kali. 
  • Hasil pemeriksaan detik jantung janin 10 – 12 – 10 berarti frekuensi detik jantung janin 32 x 4 = 128 kali per menit. 
  • Frekuensi detik jantung janin normal 120 – 160 kali per menit. 

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium rutin (Hb dan urinalisis serta protein urine).

Anamnesa dan Pemeriksaan Obstetri
  • Pemeriksaan laboratorium khusus. 
  • Pemeriksaan ultrasonografi. 
  • Pemantauan janin dengan kardiotokografi. 
  • Amniosentesis dan Kariotiping. 

10 KESIMPULAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN:

Sebagai kesimpulan hasil pemeriksaan kehamilan harus disebutkan 10 hal berikut dibawah ini :
Hamil atau tidak hamil ( berdasarkan tanda pasti kehamilan ).
Primigravida atau multigravida.
G (gravida ) ………P(para) 1 – 2 – 3 – 4.
Jumlah partus aterm (> 37 minggu/ berat anak > 2500 g).
Jumlah partus preterm (22 – 37 minggu / berat anak < 2500g )
Jumlah abortus ( < 20 minggu ).
Jumlah anak hidup saat ini.
Anak hidup atau mati.
Usia kehamilan ( aterm / preterm ……… minggu ).
Letak anak :
Situs : misalnya situs longitudinal.
Habitus : misalnya fleksi.
Posisi : misalnya punggung kiri dengan ubun-ubun kecil kiri melintang.
Presentasi : misalnya presentasi belakang kepala.
Kehamilan intra atau ekstrauterin.
Hamil tunggal atau kembar.
Inpartu atau tidak ( sebutkan tahapan persalinan)
Keadaan jalan lahir : tumor jalan lahir, hasil pemeriksaan pelvimetri klinik, cacat rahim pasca sectio caesar atau miomektomi intramural.
Keadaan umum ibu :
Komplikasi atau penyakit penyakit yang menyertai kehamilan atau persalinan ( misal: pre – eklampsia, anemia , hepatitis dsb nya )
Komplikasi persalinan ( misal : “secondary arrest” , kala II memanjang, gawat janin )

DIAGNOSA :
Diagnosa ibu :
misalnya :
G 1 P 0000 inpartu kala I fase aktif
(Penyulit kehamilan) Pre eklampsia berat dan anemia gravidarum
Diagnosa anak :
Misalnya : janin tunggal, hidup, intrauterin, presentasi belakang kepala.

TERAPI / SIKAP / TINDAKAN / RENCANA TINDAKAN & TINDAK LANJUT:

Misalnya :
Pasang infuse dan dauer katheter
Pemberian Mg SO4 dosis bolus dan dosis pemeliharaan
Observasi keadaan umum ibu (tekanan darah dan pernafasan , gejala subjektif, kejang, kesadaran, produksi urine
Observasi kemajuan persalinan ( detik jantung janin, kontraksi uterus, penurunan janin dan tanda-tanda ruptura uteri iminen - lingkaran Bandl)
Antisipasi terjadinya perdarahan pasca persalinan ( oleh karena pemberian MgSO4 dan adanya anemia gravidarum )
Buat partograf
Evaluasi 4 jam
Bila kemajuan persalinan berlangsung dengan normal, direncanakan untuk melakukan persalinan pervaginam dengan mempercepat persalinan kala II menggunakan ekstraksi cunam atau vakum.

PROGNOSA: penentuan prognosa meliputi prognosa ibu dan anak

Prinsip Obstetri :

Primum non nocere : merupakan sesuatu yang teramat penting adalah tidak membuat keadaan menjadi semakin buruk 
Non vi sed arte : melakukan tindakan medis bukan dengan kekuatan fisik namun dengan ketrampilan 

Penolong persalinan yang baik bukan hanya sekedar terampil dalam melakukan tindakan, akan tetapi juga yang mampu untuk mencegah terjadinya penyulit kehamilan dan atau persalinan dengan melakukan perawatan antenatal secara baik dan benar.

INGAT !!! PEMERIKSAAN ANTENATAL YANG BURUK DAN DIKERJAKAN SECARA SEMBARANGAN JAUH LEBIH BURUK DIBANDINGKAN DENGAN TANPA PEMERIKSAAN ANTENATAL SAMA SEKALI.

cara penulisan status obstetri
pemeriksaan obstetri dan ginekologi
langkah langkah pemeriksaan obstetri dasar
riwayat obstetri gpa
contoh pemeriksaan obstetri
pemeriksaan obstetri ppt
status obstetri pdf
pengertian riwayat obstetri

Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan RI : “Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar Berbasis Hak Asasi Manusia dan Keadilan Gender” Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Keluarga 2004.

Tumor Ovarium Dalam Kehamilan

Kehamilan Dengan Kista Ovarium


Tumor Indung telur adalah rongga berbentuk kantong berisi cairan di dalam jaringan ovarium.Tumor ovarium adalah suatu kantong abnormal berisi cairan atau setengah cair yang tumbuh dalam indung telur (ovarium).Kista ovarium biasanya tidak bersifat kanker, tetapi walaupun kista tersebut berukuran kecil.Diperlukan perhatian lebih lanjut untuk memastikan bahwa kista tersebut tidak berupa kanker (Setiati 2009). Kista indung telur (kista ovarium) relatif sering dijumpai, kista ini merupakan pembesaran dari indung telur yang mengandung cairan. Besarnya bervariasi dapat

kurang dari 5 centimeter sampai besarnya memenuhi rongga perut, sehingga menimbulkan sesak dan panas (Manuaba, 2009). Menurut Setiati (2009), menguraikan bahwa Tumor adalah segala benjolan tidak normal atau abnormal yang bukan radang. Berdasarkan golongannya, tumor dibagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Sedangkan kanker adalah istilah umum untuk semua jenis tumor ganas. Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh secara lambat. Oleh karena itu pada umumnya, tumor jinak tidak dapat cepat membesar. Pada masa perkembangannya, sel tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat) 

Diagnosis 

Menurut Llwellyn (2001), kista ovarium jinak tumbuh secara tersembunyi dan sering tidak dapat dideteksi selama beberapa tahun. Tidak menyebabkan nyeri, tetapi jika membesar dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan jarang menimbulkan gangguan menstruasi. Pemeriksaan abdomen dan vagina secara periodik akan dapat mendeteksi kista ini. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan skrenning ultrason abdomen atau transvagina, yang dapat membedakannya dari kehamilan, kegemukan, pseudosiesis, kandung kemih penuh atau degenerasi kistik dari mioma. 

Penyebab 

Bila dilihat dari faktor penyebab Tumor ovarium, tidak ada satu orang pun yang mengetahui penyebab yang tepat dari kasus ini.Bagaimanapun penyakit ini tidak menular. Perempuan bisa mendapat penyakit ini karena mempunyai faktor-faktor risiko tertentu dibandingkan dengan perempuan lain. Adapun faktor risiko tumor ovarium rahim adalah umur, kista ovarium terjadi kebanyakan pada perempuan yang berumur usia diatas 45 tahun atau kurang dari 20 tahun (Anolis, 2011).

Kehamilan Dengan Kista Ovarium

Gejala Tumor Ovarium


1. Gejala klinis Tumor ovarium sangat bervariasi yaitu: 
Tanpa gejala apapun, karena besarnya bervariasi, gejalanya tidak menentu. Mungkin hanya ketidak nyamanan di perut bagian bawah. Setelah besarnya tertentu, pasien mencari pertolongan karena merasa perutnya membesar dan menimbulkan gejala perut terasa penuh dan sering sesak napas, karena perutnya tertekan oleh besarnya kista (Manuaba, 2009). Gejala penyakit dapat datang sebagai akibat penyulit kista indung telur diantaranya sakit mendadak pada perutnya karena terdapat perdarahan, kista, terpelintirnya tangkai kista atau kista pecah.Kista telah mengalami degenerasi ganas dengan gejala penderita kurus, perut terdapat cairan asites, dan sudah terdapat anak sebarnya (Manuaba, 2009). 

2. Menurut Anolis (2011), gejala tumor dapat berupa: 
Menstruasi datangnya terlambat yang sering disertai timbulnya rasa yang sangat nyeri. Nyeri, perasaan penuh atau tertekan di daerah perut 
Serangan nyeri tajam yang muncul mendadak pada perut bagian bawah. 
Tumbuhnya rambut pada bagian wajah dan bagian tubuh lainnya 
Pembengkakan pada tungkai bawah yang biasanya tidak disertai adanya rasa sakit,gangguan kencing dan sukar buang air besar. 

3. Menurut Yatim (2008), gejala tumor ovarium dapat berupa: 
Rasa nyeri yang menetap di rongga panggul disertai rasa agak gatal 
Rasa nyeri sewaktu bersetubuh atau nyeri rongga panggul kalau tubuh bergerak.

Rasa nyeri segera timbul siklus menstruasi selesai. Perdarahan menstruasi tidak seperti biasa. Mungkin perdarahan lebih lama, mungkin lebih pendek, atau mungkin tidak keluar darah menstruasi pada siklus biasa atau siklus menstruasi tidak teratur. 

Tumor Ovarium Dalam Kehamilan 
Pembesaran ovarium kurang dari 6 cm yang ditemukan pada awal kehamilan biasanya mencerminkan pembentukan korpus luteum. Satu dari 1.500 kehamilan mendapat komplikasi tumor yang terdeteksi secara klinis, berdiameter kurang dari 50 mm. Jika pemeriksaan ultrason dilakukan secara rutin, tumor ovarium dapat dideteksi pada 1 dari 200 kehamilan. Kebanyak tumor karena kista, biasanya karena pembesaran korpus luteum, yang dapat hilang secara spontan ( Llewelyn dan Jones,2001). 

Pada kehamilan yang disertai kista ovarii seolah – olah terjadi perebutan ruangan, ketika kehamilan makin membesar. Oleh karena itu, kehamilan dengan kista memerlukan operasi untuk mengangkat kista tersebut pada usia kehamilan 16 minggu. Kebanyakan adalah kistadenoma serosa, sedikit kistadenoma musinosa dan keduanya meliputi 65 persen dari semua neoplasma yang menjadi penyulit pada kehamilan. Teratoma mencakup 25 persen. Sisanya 10 persen terdiri dari berbagai tumor ovarium lainnya ( Llewelyn dan Jones,2001). 

Bahaya melangsungkan kehamilan bersama dengan tumor ovarii adalah dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang akhirnya mengakibakan abortus, kematian dalam rahim. Pada kedudukan kista di pelvis minor, persalinan dapat terganggu dan dan memerlukan penyelesaian dengan jalan operasi seksio sesaria. Pada kedudukan kista ovarii di daerah fundus uteri, persalinan dapat berlangsung normal tetapi bahaya postpartum mungkin menjadi torsi kista, infeksi sampai abses. Oleh karena itu, segera setelah persalinan normal bila diketahui terdapat kista ovarii, laparotomi dilakukan untuk mengangkat kista tersebut. (Manuaba,2010). 

Pembagian tumor ovarium berdasarkan non neoplastik dan neoplastik yaitu: 

a. Non Neoplastik 
Kista folikel Kista ini berasal dari folikel de graaf yang tidak sampai berovulasi, namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang lazim, melainkan membesar menjadi kista. Biasanya dapat di dapati beberapa kista dengan diameter kista 1-1,5 cm. Kista yang berdiri sendiri sebesar jeruk nipis. Cairan di dalam kista jernih dan mengandung estrogen, oleh sebab itu jenis kista ini sering mengganggu siklus haid. Kista folikel ini lambat laun mengacil dan menghilang spontan.

Kista Korpus Luteum Dalam keadaan normal korpus luteum lambat laun mengecil dan menjadi korpus albikans, kadang – kadang korpus luteum mempertahankan diri (korpus luteum pesisten). Perdarahan yang sering terjadi didalamnya menyebabkan terjadinya kista. Berisi cairan yang berwarna coklat karena darah tua. Frekuensi kista luteum lebih jarang dari pada kista folikel luteum lebih jarang daripada kista folikel dan yang pertama bisa menjadi lebih besar daripada yang kedua. 

Kista Teka Lutein Pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang – kadang tanpa adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya bilateral dan bisa menjadi sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopi terlihat luteinsasi sel – sel teka. Sel – sel granulosa dapat pula atresia. Tumbuhnya kista ini ialah akibat pengaruh hormon koriogonodotropin yang berlebihan dan dengan hilangnya mila atau koriokarsinoma ovarium akan mengecil spontan. 

Kista Inkulusi Germinal Kista ini terjadi karena invaginasi dan isolasi bagian – bagian kecil dari epitel germaimativum pada permukaan ovarium. Tumor ini lebih banyak pada wanita yang lanjur usia dan besarnya jarang yang lebih dari 1 cm. Kista ini biasanya secara kebetulan ditemukan pada pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat waktu operasi.

Kista Endometrium Kista ini yang terbentuk dari jaringan endometriosis (jaringan mirip dengan selaput dinding rahim yang tumbuh diluar rahim) menempel di ovarium dan berkembang menjadi kista. Kista ini berhubungan dengan endometriosis yang menimbulkan nyeri haid sanggama. 

Kista Stein – Leventhal Pada kista ini ovarium tampak pucat, membesar 2 sampai 3 kali, polikistik dan permukaannya licin. Kapsul ovarium menebal. Kista ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormon. Umumnya pada penderita terdapat gangguan ovulasi, oleh karena endometrium hanya di pengaruhi estrogen (Prawirohardjo,2008). 

b. Neoplastik 
Kistoma Ovarii Simpleks Kistoma ovarii simpleks adalah kista yang permukaannya rata dan halus, biasanya bertangkai, seringkali bilateral, dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis berisi cairan jernih yang serosa dan berwana kuning. 

Kistadenoma Ovarii Musinosum Kista ini berasal dari teratoma dimana dalam pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen lain. Kista lazimnya berbentuk multilokuler, dinding kista agak tebal dan berwarna ke abu- abuan. Jika dalam kista ini terjadi torsi (putaran tangkai) akan menyebabkan sirkulasi yang menyebabkan perdarahan dalam kista. 

Kistadenoma Ovarii Serosum Kista ini berasal dari epitel germinativum. Bentuk kista umumnya unilokular, bila multilokular perlu di curigai adanya keganasan. Kista ini dapat membesar, tetapi tidak sebesar kista musinosum. Gambaran klinis pada kasus ini tidak klasik. Selain teraba massa intraabdominal dapat timbul asites.

Kista Dermoid Kista dermoid adalah teratoma kistik jinak dengan struktur ektodermal berdiferensiasi sempurna dan lebih menonjol daripada mesoderm dan entoderm. Dinding kista keabu-abuan dan agak tipis, konsistensi sebagian kistik kenyal dan sebagian lagi padat. Dapat terjadi perubahan kearah keganasan, seperti karsinoma epidermoid. Kista ini diduga berasal dari sel telur melalui proses partenogenesis. Gambaran klinis adalah nyeri mendadak diperut bagian bawah karena torsi tangkai kista (Prawirohardjo,2008). 


Bahaya Tumor 
Salah satu bahaya yang ditakuti ialah apabila kista tersebut ganas.Sekalipun tidak semua kista mudah berubah menjadi ganas.Berdasarkan kajian teoritik, kista fungsional yang paling sering terjadi dan sangat jarang menjadi ganas. Sebaliknya kistadenoma yang jarang terjadi tetapi mudah menjadi ganas terutama pada usia di atas 45 tahun atau kurang dari 20 tahun. Bahaya lain dari kista adalah apabila terpuntir. Kejadian ini akan menimbulkan rasa sakit yang sangat dan memerlukan tindakan darurat untuk mencegah kista jangan sampai pecah. (Anolis, 2011). 

Pemeriksaan Dini : 
Pemeriksaan secara berkala dan teratur, minimal setahun sekali. Jika pada pemeriksaan pertama kista yang tidak terlalu besar ditemukan, dengan batasan 5 sentimeter, maka harus dilakukan follow up setiap tiga bulan sekali. Pemeriksaan dengan Ultrasonograffy (USG) Kadang meskipun dengan alat bantu USG, jenis kista tidak dapat dibedakan secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan juga pemeriksaan anamnesis untuk menanyakan riwayat penyakitnya, seperti bagaimana menstruasinya, apakah ada nyeri atau tidak, sebagainya. 

Pemeriksaan fisik dan laboratorium Kista yang mengarah pada kanker memang dapat diperkirakan melalui USG karena gambaran tertentu dapat terlihat, misalnya dinding yang menebal atau tidak beraturan. Jadi, pertumbuhan dalam kista yang mengarah pada kanker dapat diketahui. Selain itu, pemeriksaan tumor marker juga dapat dilakukan, walaupun pemeriksaan ini tidak spesifik. Jika ditemukan kista berdiameter lebih dari lima sentimeter atau kurang dan hasil USG menunjukkan kecurigaan kearah kanker dan tumor marker-nya diperiksa tinggi, maka pemeriksaan ke arah kanker harus dipikirkan. Seandainya kista tersebut memang kanker, maka harus dilakukan follow updan, mungkin, obat-obat kemoterapi harus diberikan berdasarkan jenis sel-sel dan stadiumnya.Jika ternyata kista tersebut menjadi kanker indung telur, mau tidak mau tindakan opersi harus dilakukan.Semua itu harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai kista tersebut pecah karena kista yang pecah dapat menyebar ke mana-mana.Setiati (2009). 

Perawatan dan Pengobatan
Menurut Anolis (2011), perawatan dan pengobatan tumor ovarium adalah sebagai berikut: 


1) Perawatan 
Terapi konservatif yaitu dengan melakukan observasi karena mayoritas kista adalah kista fisiologis yang akan menghilang dengan sendirinya. Jadi tidak perlu operasi karena tidak berkembang dan tidak mengarah keganasan 
Terapi bedah, diindikasikan bila kista tidak menghilang dalam beberapa kali obervasi atau bahkan semakin besar, kista yang ditemukan pada wanita menopause, kista yang menyebabkan nyeri yang luar biasa lebih-lebih jika sampai timbul perdarahan 

2) Pengobatan 
Pengobatan tergantung pada tipe dan ukuran kista serta usia penderita. Untuk kista folikel, kista ini tidak perlu diobati karena akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 1-3 bulan. Tetapi tetap harus konsultasi pada dokter. Untuk kista lutein golongan granulose lutein, yang sering terjadi pada wanita hamil, akan sembuh secara perlahan-lahan pada masa kehamilan trimester ketiga, sehingga jarang dilakukan operasi, sedangkan untuk golongan teka lutein, maka akan menghilang secara spontan jika faktor penyebabnya telah dihilangkan (Setiati, 2009), Untuk kista polikistik indung telur yang menetap atau persisten, operasi harus dilakukan untuk mengangkat kista tersebut agar tidak menimbulkan gangguan dan rasa sakit.Untuk kista fungsional, dapat digunakan pil kontrasepsi yang digunakan untuk mengecilkan ukuran kista.Pemakaian pil kontrasepsi juga mengurangi peluang pertumbuhan kista. 

Dalam menghadapi kista ovarium dapat memegang dua prinsip menurut Setiati (2009), antara lain: 
Sikap wait and see. Karena mayoritas kista adalah kista fungsional yang akan menyusut dengan sendirinya dalam 2-3 bulan maka semakin dini deteksinya, semakin mudah pengobatannya. Tentu, tiap wanita selalu berharga agar indung telurnya tetap utuh, tidak rusak atau dapat dipertahankan jika tim dokter mengambil keputusan untuk mengangkat kista. Kemungkinan tersebut menjadi ada jika kista ditemukan dalam stadium dini. Alternatif terapi dapat dilakukan dengan peberian pil KB dengan maksud menekan proses ovulasi. Dengan sendirinya, kista pun tidak akan tumbuh. 

Pilihan terapi bedah. Indikasi perlu dilakukan pembedahan adalah jika kista tidak menghilang dalam beberapa kali siklus menstruasi atau kista yang memiliki ukuran demikian besar, kista yang ditemukan pada wanita menopause, atau kista yang menimbulkan rasa nyeri luar biasa, lebih-lebih jika sampai timbul perdarahan.Tindakan bedah dapat sangat terbatas, yaitu berupa pengangkatan kista dengan tetap memperhatikan indung telur.Selain itu, pembedahan pun menyimpan kemungkinan lebih ekstensif, mulai dari pengangkatan seluruh indung telur atau lebih luas lagi, merembet ke pengambilan seluruh rahim. 


kista pada kehamilan trimester pertama
kista ovarium pada kehamilan pdf
kista diluar rahim saat hamil
kehamilan disertai kista
menghilangkan kista saat hamil
kista saat hamil 2 bulan
bahaya kista saat melahirkan normal

Daftar Pustaka

Anolis, A. (2011). 17 Penyakit Wanita yang Paling Mematikan. Buana Pustaka. Yogjakarta
Derek Lewellyn.jones. (2001). Dasar-dasar obstetric dan ginekologi, Alih bahasa; Hadyanto, Ed.6 Jakarta 
Johari, A& Gandis, F. (2013). Insiden Kanker Ovarium Berdasarkan Faktor Resiko di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2008 – 2011, Jurnal FK USU Volume 1 no 1 tahun 2013. 
Manuaba, IAC. (2009). Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita.EGC. Jakarta. Prawirhardjo, S. (2008).Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta 
Setiati, E. (2009). Waspadai 4 Kanker Ganas Pembunuh Wanita, Andi. Jogjakarta. 
Siringo.D, Hiswani & Jemadi. Karakteristik Penderita Kista Ovarium Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit ST Elisabeth Medan Tahun 2008 – 2009, Jurnal FK USU

            Hepatitis Asimtomatik Pada Kehamilan

            Hepatitis Pada Kehamilan


            Hepatitis simptomatik pada kehamilan pada 15 tahun terakhir ini sangat jarang terjadi di negara maju. 

            Dikenal 5 jenis infeksi viral hepatitis :
            1. Hepatitis A
            2. Hepatitis B
            3. Hepatitis D
            4. Hepatits C
            5. Hepatitis E
            Pada umumnya infeksi berlangsung subklinis dan gejala klinik umumnya berupa:
            1. Demam ringan
            2. Mual dan muntah
            3. Nyeri kepala
            4. Lesu
            5. Ikterus ( 1 – 2 minggu setelah gejala diatas) 
            Hepatitis Pada Kehamilan

            HAV = Virus Hepatitis A ; HBc = Hepatis B core ; HbsAg = Hepatitis B surface antigen ; HCV = virus Hepatitis C.

            a HbsAg mungkin dibawah nilai ambang deteksi sehingga menjadi negatif 

            Diambil dari : Dienstag and Isselbacher (2001a)

            Komplikasi :
            1. Case Fatality Rate pada non-hamil dengan hepatitis akut 0.1%
            2. Kasus fatal biasanya berhubungan dengan nekrosis hepar fulminan( umumnya disebabkan oleh hepatitis B dan hepatitis D)
            3. Infeksi kronis umumnya disebabkan oleh infeksi hepatits B (kira-kira 10%) dan C ( majoritas pasien hepatitis kronis)

            HEPATITIS B
            Endemik disejumlah daerah terutama di Asia dan Afrika. Disebabkan oleh DNA hepadna virus. Penyebab utama hepatitis akut dengan dampak ikutan kronis berupa cirrhosis hepatis dan karsinoma hepatoselulare. Sering terjadi pada penyalahguna obat intravena, homoseksual, tenaga medis dan penerima transfusi. Penularan dapat terjadi secara seksual melalui lendir vagina, saliva dan cairan semen.

            Dampak terhadap kehamilan :
            Seperti halnya infeksi virus Hepatits A, perjalanan klinis infeksi Hepatits B tidak dipengaruhi oleh kehamilan. Terapi berupa terapi suportif dan mencegah terjadinya persalinan preterm. Janin yang terinfeksi dengan virus Hepatitis B umumnya asimptomatik namun 85% akan menjadi kronis

            HEPATITIS D
            Disebut pula sebagai delta hepatitis. Disebabkan oleh RNA vuirus yang cacat yang merupakan partikel hybrid dengan lapisan HbsAg dan inti Delta. Infeksi virus ini harus bersamaan dengan virus Hepatits B. Penularan sama dengan virus Hepatitis B. Infeksi kronis hepatitis B dan D secara bersamaan lebih berat dibandingkan infeksi virus hepatitis B saja.

            HEPATITIS C 
            Disebabkan infeksi virus RNA dari famili Flavyriviridae. Cara penularan sama dengan virus Hepatitis B. Perjalanan penyakit tidak dipengaruhi oleh kehamilan dan outcome perinatal tidak berubah pada kasus dengan HCV yang positif. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa infeksi hepatitis C dapat berlangsung secara vertikal.

            Daftar Pustaka

            ACOG education pamphlet – hepatitis B virus in pregnancy http://www.acog.org/publications/patient_education/bp093.cfm.
            American College Of Obstetrician and Gynecologist : Perinatal viral and parasitic infection. Practice Bulletin No.20, September 2000.
            Cunningham FG et al : Infection in Williams Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005 .

            Perdarahan Postpartum

            Perdarahan Postpartum Primer dan Sekunder

            A. PENGERTIAN

            Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri dan laserasi jalan lahir .

            Perdarahan postpartum adalah sebab penting kematian ibu ; ¼ dari kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan ( perdarahan postpartum, plasenta previa, solution plaentae, kehamilan ektopik, abortus dan ruptura uteri ) disebabkan oleh perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia mengurangkan daya tahan tubuh. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu : 

            Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.

            Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal. 

            B. GEJALA KLINIS

            Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama. 

            C. DIAGNOSIS PERDARAHAN PASCAPERSALINAN
            Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka waktu lama, tanpa disadari pasien telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan pascapersalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi perdarahan pascapersalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan plasenta segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir.

            Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi; sedangkan pada perdarahan karena perlukaan jalan lahir, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam hal uterus berkontaraksi dengan baik, perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan dimana letaknya perlukaan jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian akibat perdarahan pascapersalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak data terlalu dihindarkan, terutama apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak darah. Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan post partum merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.

            Diagnosis perdarahan pascapersalinan dilakukan dengan :
            Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
            Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
            Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:

            • Sisa plasenta atau selaput ketuban
            • Robekan rahim
            • Plasenta suksenturiata
            Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
            Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dan lain-lain. Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga bahaya karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan juga jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada setiap ibu yang bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam

            FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERDARAHAN PASCAPERSALINAN


            1. Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
            Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
            2. pascapersalinan dan gravida
            Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.

            3. Perdarahan pascapersalinan dan paritas
            Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.

            4. Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care
            Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.

            5. Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
            Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal
            ETIOLOGI
            Perdarahan pascapersalinan antara lain dapat disebabkan oleh:
            Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya pendarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan pendarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan. 
            Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan pasca persalinan. Sekitar 50-60% pendarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri. Faktor-faktor predisposisi atonia uteri antara lain : 
            1. Grandemultipara
            2. Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar (BB > 4000 gram)
            3. Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)
            4. Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepartum)
            5. Partus lama (exhausted mother) 
            - Partus precipitatus 
            - Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis) 
            - Infeksi uterus 
            - Anemi berat
            6. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)
            7. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual
            8. Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas.

            DIAGNOSIS
                Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. 

            Penanganan atonia uteri yaitu :
            1). Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan prostaglandin. 

            2). Kompresi bimanuil 
            Jika tindakan poin satu tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu yang singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada pada uterus. Tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain dibelakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang dengan antara 2 tangan; tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.

            3). Tampon utero-vaginal secara lege artis, tampon diangkat 24 jam kemudian. 
            Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya dengan dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan pendarahan dalam uterus dibelakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi.

            4). Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pascapersalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.
            5). Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri. Setelah persalinan buatan atau kalau ada perdarahan walaupun kontraksi uterus baik dan darah yang keluar berwarna merah muda harus dilakukan pemeriksaan dengan speculum. Jika terdapat robekan yang berdarah atau robekan yang lebih besar dari 1 cm, maka robekan tersebut hendaknya dijahit. Untuk memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke bawah hingga cerviks dekat dengan vulva. Kemudian kedua bibir serviks dijepit dengan klem dan ditarik ke bawah. Dalam melakukan jahitan robekan serviks ini yang penting bukan jahitan lukanya tapi pengikatan dari cabang – cabang arteria uterine.

            6). Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum.

            7). Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terjadi regangan segmen bawah uterus dengan servik uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.

            8). Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio sesarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.

            9). Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. Tingkatan robekan pada perineum: 

            • Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek 
            • Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.
            • Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan rektum. 
            Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m. puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.

            PENATALAKSANAAN :

            • Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan
            • sumber perdarahan. 
            Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
            Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
            Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap operator.
            Khusus pada rutura perineum komplit ( hingga anus dan sebagian rektum) dilakuakan penjahitan lapis demi lapis dengan bantua busi pada rektum, sebagai berikut: 
            Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan.
            Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa menggunakan benang poliglikolik no.2/0(dexon/vicryl) hingga ke spingter ani. Jepit kedua spingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
            • Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler. Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2g dan metronidazol 1g per oral). Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi ramuan tradisional atau terdapat tanda-tanda infeksi yang jelas. 
            Perbedaan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan robekan jalan lahir adalah :

            • Atonia Uteri 
            • Robekan jalan lahir 
            • Kontraksi uterus lembek, lemah dan membesar ( fundus uteri masih tinggi)
            • Perdarahan terjadi beberapa menit setelah anak lahir
            • Bila kontraksi lemah, setelah masase atau pemberian uterotonika, kontraksi yang lemah tersebut menjadi kuat.
            • Kontraksi uterus kuat, keras dan mengecil.
            • Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir.
            Setelah dilakukan masase atau pemberian uterootonika langsung uterus mengeras tapi perdarahan tidak berkurang.
            Retensio plasenta yaitu Keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta: 
            Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring. 
            Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus. 
            Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus. 

            Penyebab retensio plasenta :
            • Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
            • Plasenta adhesive : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
            • Plasenta inkerta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
            • Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
            • Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembuus serosa atau peritoneum dinding rahim.
            • Plasenta sudah lepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim ( akibat kesalahan penanganan kala III ) yang akan menghalangi plasenta keluar ( plasenta inkarserata)
            Diagnosis retensio plasenta

            • Tanya dan dengar :
            • Kapan melahirkan ?
            • Kapan mulai mengalami perdarahan?
            • Berapa banyak perdarahan?
            • Apakah plasenta sudah dilahirkan?
            • Apakah ibu sudah diberi obat?
            • Lihat dan Raba (Lihat tanda-tanda syok)
            • Tekanan darah turun
            • Kulit dingin dan lembab
            • Denyut nadi lemah dan cepat
            • Segera setelah terlihat perdarahan:
            • Raba uterus untuk memastikan uterus keras dan berkontraksi
            • Lihat jalan lahir, apakah servik dan vagina robek?
            • Lihat plasenta (bila sudah lahir) secara teliti untuk memastikan bahwa tidak ada bagian yang tertinggal
            Penanganan Retensio Plasenta dengan plasenta manual. Sebaiknya pelepasan plasenta manual dilakukan dalam narkosis, karena relaksasi otot memudahkan pelaksanaannya tertutama bila retensi telah lama, sebaiknya juga dipasang infus NaCl 0,9% sebelu tindakkan dilakukan. Setelah disinfektan tangan dan vulva termasuk daerah seputarnynya, labia dibeberkan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan dimasukkan secara obstetrik ke dalam vagina. Sekarang tangan kiri menahan fundus untuk mencegah kolporeksis. Tangan kanan dengan posisi obstetrik menuju ostium uteri dan terus ke lokasi plasenta, tangan dalam ini menyusuri tali pusat agar tidak terjadi salah jalan.

            Supaya tali pusat mudah diraba, dapat diregangkan oleh asisten. Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut dipindahkan ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah lepas untuk menentukan bidang pelepasan yang tepat. Kemudian dengan sisi tangan kanan sebelah kelingking ( ulner ), plasenta dilepaskan pada bidang antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah seluruh plasenta terlepas, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar.

            Kesulitan yang mungkin dijumpai pada waktu pelepasan plasenta secara manual adalah adanya lingkaran kontriksi yang hanya dapat dilalui dengan dilatasi oleh tangan dalam secara perlahan-lahan dan dalam nakrosis yang dalam. Lokasi plasenta pada dinding depan rahim juga sedikit lebih sukar dilepaskan daripada lokasi di dinding belakang. Ada kalanya plasenta tidak dapat dilepaskan secara manual seperti halnya pada plasenta akreta, dalam hal ini tindakan dihentikan.
                
            Setelah plasenta dilahirkan dan diperiksa bahwa plasenta lengkap, segera lakukan kompresi bimanual uterus dan dapat disuntikkan Ergometrin 0.2 mg IM atau IV sampai kontraksi uterus baik. Pada kasus retensio plasenta, resiko atonia uteri tinggi, oleh karena itu harus dilakukan tindakan pencegahan perdarahan postpartum. 

            Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah. Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi kasus inversio uteri ini jarang sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Inversio uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. 

            Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. 

            Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lnak di atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan. 
            Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita. 

            Pembagian inversion uteri :

            • Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavumuteri namun belum keluar dari ruang rongga rahim.
            • Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.
            • Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina.
            Penyebab inversion uteri :

            • grande multipara
            • atoni uteri
            • kelemahan alat kandungan
            • tekanan intra abdominal yang tinggi ( mengejan dan batuk ).
            • Faktor – faktor yang memudahkan terjadinya inversion uteri :
            • Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya.
            • Tarikan tali pusat yang berlebihan.
            Gejala klinis inversion uteri :

            • Dijumpai pada kala III atau postpartum dengan gejala nyeri yang hebat, perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi stranguasi dan nekrosis.
            • Pemeriksaan dalam :
            • Bila masih inkomplit aka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam.
            • Bila komplit, diatas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak.
            • Kavum uteri sudah tidak ada.
            Diagnosis dan gejala klinis inversio uteri :
            Dijumpai pada kala III atau post partum dengan gejala nyeri yang hebat,
            perdarahan yang banyak sampai syok. Apalagi bila plasenta masih melekat dan
            sebagian sudah ada yang terlepas dan dapat terjadi strangulasi dan nekrosis.
            Pemeriksaan dalam :

            • Bila masih inkomplit maka pada daerah simfisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam.
            • Bila komplit, di atas simfisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak.
            • Kavum uteri sudah tidak ada (terbalik). Penanganan inversio uteri :
            • Pencegahan : hati-hati dalam memimpin persalinan, jangan terlalu mendorong
            • rahim atau melakukan perasat Crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam
            • menarik tali pusat serta melakukan pengeluaran plasenta dengan tajam.
            • Bila telah terjadi maka terapinya :
            • Bila ada perdarahan atau syok, berikan infus dan transfusi darah serta perbaiki
            • keadaan umum.
            • Segera itu segera lakukan reposisi kalau perlu dalam narkosa.
            • Bila tidak berhasil maka lakukan tindakan operatif secara per abdominal
            • (operasi Haultein) atau per vaginam (operasi menurut Spinelli).
            • Di luar rumah sakit dapat dibantu dengan melakukan reposisi ringan yaitu
            • dengan tamponade vaginal lalu berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
            PENANGANAN PERDARAHAN PASCAPERSALINAN
            Penanganan perdarahan pasca persalinan pada prinsipnya adalah hentikan perdarahan, cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan (larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen. Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan "antenatal care" yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim.
            Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.

            Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Pada perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri, dengan segera dilakukan massage uterus dan suntikan 0,2 mg ergometrin intravena.

            Perdarahan Postpartum Primer dan Sekunder